Tong Djoe
You jadi Susah"
Tong Djoe, ‘pengusaha di segala rezim,’ pelobi ulung dan pialang revolusi, bicara tentang presiden-presiden yang pernah dia bantu. Juga rahasia bagaimana ia tetap survive walau zaman berubah.
Kini usianya sudah 79. Ramping, lincah dan segar, ia masih bisa berjalan dan bergegas dengan cepat, misalnya, untuk mengejar suatu acara. Pada beraneka perhelatan, tiap orang yang menyapa dia selalu dia balas dan layani dengan ramah. Tetapi ia selalu punya kata-kata yang elok untuk segera dapat berpamitan, sehingga ia bisa melenggang kembali menemui kenalan-kenalannya yang lain.
Itulah Tong Djoe, pengusaha ‘segala rezim,’ yang bisnisnya dan peranan dirinya tampaknya tak lekang dimakan waktu. Ia sudah berbisnis sejak zaman Bung Karno. Ia dikenal sebagai pelobi ulung di kalangan pemerintahan dalam dan luar negeri. Dari dulu hingga sekarang. Ia mempertemukan sejumlah presiden Indonesia dengan kepala negara lain. Ia menjembatani penguasa dan pengusaha. Foto-foto dirinya di kantornya, menunjukkan bagaimana ia kerap menjadi orang di belakang layar dalam tiap pertemuan penting sejumlah kepala negara.
Di usia 17, Tong Djoe sudah bekerja di kapal. Di masa revolusi ia membantu perjuangan kemerdekaan dengan menyuplai bahan sandang, pangan, bangunan dan senjata. Ia adalah satu dari pengusaha yang dekat dengan Soekarno, sebagian karena jasa-jasanya membantu revolusi. Seorang ahli sejarah, Mestika Zed, bahkan menjulukinya sebagai ‘pialang revolusi’ karena jasanya menjembatani kelebihan pasok pangan di Sumatera untuk dialihkan ke Jawa yang justru kekurangan.
Di zaman Soeharto, bisnis Tong Djoe tetap berkibar, walau ia mengaku tidak akrab dengan ‘jenderal tersenyum’ itu. Tong Djoe justru dekat dengan salah satu orang dekat Pak Harto, Ibnu Sutowo, pendiri dan direktur utama pertama Pertamina. Menekuni bisnis perkapalan, Tong Djoe membangun Grup Tunas, grup bisnis yang namanya adalah pemberian dari Ibnu Sutowo. Tunas adalah perusahaan pertama Tong Djoe di Singapura yang cukup disegani. Gedung Tunas di Anson Road, Singapura, pada 1973 (ketika selesai), bertingkat 31, merupakan gedung tertinggi di Singapura waktu itu.
Di zaman Abdurrahman Wahid menjadi presiden, nama Tong Djoe berkibar penuh, terutama karena sang presiden banyak memintai nasihat dari dirinya. Tong Djoe, misalnya, pernah dimintai pendapat oleh Gus Dur tentang bagaimana mengajak kembali pengusaha Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Atas jasa Tong Djoe pula Menteri Senior Lee Kuan Yew bersedia diangkat jadi penasihat presiden Indonesia. "Sayangnya, dia diangkat sebagai penasihat tetapi nasihatnya tidak pernah diminta. Seharusnya undang dong dia ke sini," kata Tong Djoe, mengenang.
Kamis, 19 Agustus 2004, lewat percakapan telepon yang singkat, WartaBisnis tak menemukan kesulitan membuat janji wawancara dengan dirinya. "Datang saja besok, jam lima," kata dia sembari memberitahu alamat kantornya di jalan Gunung Sahari Jakarta. Wawancara itu hampir saja batal, karena ketika ditemui di tempat yang ia janjikan keesokan harinya, Tong Djoe sudah bersiap hendak berangkat ke sebuah pameran lukisan. "Maaf. Saya harus menghadiri pameran itu," kata dia. Tetapi ia tidak kehabisan akal. "Bagaimana kalau kita berbincang sambil berangkat ke pameran itu?," usul dia. Sebuah tawaran yang harus diterima, karena Tong Djoe tak punya banyak waktu lagi. Setiap Jum’at, dia kembali ke Singapura untuk ‘kembali’ lagi ke Jakarta pada hari Seninnya.
Maka wartawan WartaBisnis Eben Ezer Siadari dan Agung Marhaenis mewawancarai Tong Djoe di perjalanan yang macet menuju hotel Sahid Jakarta. Tak mudah mengikuti alur bicaranya yang sering melompat-lompat serta Bahasa Indonesia-nya yang kelihatannya banyak dipengaruhi dialek Singapura dan Malaysia. Di pameran itu, ternyata perhatiannya tak bisa ia pusatkan pada lukisan-lukisan. Ia mengajak WartaBisnis duduk di pojok sebuah kafe, memesan minuman dan siap ditanyai lebih banyak. "Masih banyak waktu untuk lukisan-lukisan itu. Sekarang, saya ingin berbicara dengan Anda, sahabat-sahabat saya yang baik," kata dia, sambil memesan jus jeruk dingin. Satu jam kemudian WartaBisnis baru diizinkan pamit.
Berikut ini petikan wawancara tersebut.
Anda dikenal sebagai pengusaha yang mampu bertahan sejak Indonesia merdeka hingga sekarang. Rezim berganti tetapi Anda tetap bisa dekat dengan penguasa. Kenapa Anda bisa?
Tong Djoe: Caranya kita bangun bersama, kita bikin bersama. Saling menghormati orang, bikin orang untung. Kalau ada sesuatu kekurangan dia, kita ingatkan. Dia dengar baik, kalau tidak dengar kita sudah sampaikan.
Anda masih sering bertemu dengan keluarga Bung Karno?Kalau dulu masih. Ya, sekarang tetap lah.
Diantara keluarga itu siapa yang paling dekat?Ya Guntur lah. Guntur baik.
Kenapa bukan Ibu Mega?Dulu kan Fatmawati titip dia kepada saya. Jadi ya bagaimana pun saya sangat menghormati dia. Dia masih anggap saya Om. Maka itu kita tidak ada siapa yang salah yang benar. Orang itu sering salah mengerti tentang kedekatan saya dengan para penguasa. Seperti dulu, Fatmawati bilang, "Tong Djoe ini anak-anak dititip ke Tong Djoe." Lalu itu disalah mengerti. Dulu ada pembantu Pak Harto bertanya kepada saya kenapa Tong Djoe melindungi keluarga Bung Karno? Padahal itu kan karena dititipkan kepada saya. Tetapi di situ saya menghormati Pak Harto. Dia merangkul. Kita jangan salah-menyalahkan. Kita sering cepat emosi, cepat iri hati, cepat tersinggung. Jadi kadang-kadang kalau butuh, kita gampang janji, tapi kita suka cepat lupa. Ini saya cerita pengalaman. Ini saya tidak ada bersangkutan sama siapa. Mari kita bersama membangun rumah kita supaya besok Indonesia lebih baik. Termasuk saudara. Jangan mengadu satu dan lain. Nanti menyesal dan kecewa. Itu yang harus diperhatikan.
Anda sempat juga dekat dengan Pak Harto?Dulu dengan Pak Harto kurang dekat. Ibu Tien pernah bilang kenapa tidak datang ke rumah kita? Saya bilang Bapak dan Ibu masih sibuk, saya tidak ingin bikin Bapak dan Ibu semakin sibuk.
Jadi kurang dekat?Ya kita hormat dengan dia. Dia orang kerja dengan baik. Dia kerja benar. Cuma rakyat belum mengerti.
Maksudnya?Misalnya maju untuk pembangunan. Namun ada satu kekurangannya, pembangunan dilakukan bertumpuk di pusat. Maka saya bilang waktunya Bapak membangun daerah. Untuk apa? Untuk membuat antardaerah itu makin lama makin dekat. Misalnya kamu punya, saya tidak punya. Saya akan iri.
Anda juga dikenal dekat dengan Gus Dur. Bisa cerita?Dia punya bapak kan dekat dengan saya. Dulu bapaknya menteri agama.
Ketika itu Anda sebagai apa?Saya dulu sebagai orang bebas. You tanya orang lain lah Tong Djoe siapa.
Apa yang paling berkesan dari Gus Dur?
Dia mau kerja baik. Tapi dia sendiri. Sebab mata dia kurang lihat. Akhirnya dia sendirian. Dia ingin supaya bangsa ini maju. Habibie juga ingin bangsa Indonesia baik, ia membangun demokrasi.
Kalau dari Megawati apa yang istimewa?Dia sudah mengalami. Dia kan satu-satunya yang lahir di Yogya. Sampai pindah kekuasaan. Dia mengalami ujian yang sedemikian. Begitu. Dia mengalami segala masalah, tapi ada bukti akhir-akhir ini menjadi tenang. Soal maju kan itu tergantung kita bersama-sama.
Dari SBY?Dia tahu Indonesia adalah negara besar. Dia dari Angkatan Bersenjata. Cuma kita harus bilang dia berbuat apa untuk Indonesia, untuk rakyat.
Dari dua kandidat presiden ini, apa yang Anda harapkan?Yang penting untuk rakyat itu adalah punya pekerjaan. Lalu menyediakan suatu ketenangan. Setelah itu, agar orang percaya pada pemerintah, maka pemerintah harus memperhatikan dan memelihara rakyat, antara lain dengan membuat biaya pendidikan murah. Kita harus mengetahui bahwa Indonesia itu lama dijajah. Sekarang kita mau betul-betul kita dikasih kesempatan untuk pendidikan. Kesempatan untuk berusaha. Dulu kita kan masih bayi, sekarang kita kan sudah jadi ‘tuan rumah’. Kita tentu tahu apa kekurangan dan kelebihan kita, supaya kita isi-mengisi. Tidak ada apa yang dikatakan itu musuh. Itu enggak ada. Kita mesti saling percaya, saling menghormati, saling mengisi.
Sebagai seorang sesepuh masyarakat Tionghoa, Anda punya keinginan khusus tentang bagaimana kebijakan pemerintah terhadap masyarakat minoritas, seperti Anda?Itu bukan soal Tionghoa-nya. Yang perlu diperhatikan adalah di Indonesia itu tidak ada pemisah-misahan satu dengan lainnya. Jangan kita dipisahkan. Setiap warga negara berhak dan berkewajiban supaya rumah ini tenang dan berwibawa.
Tetapi dikabarkan masih banyak teman-teman Anda yang belum pulang ke Indonesia. Bagaimana cara mengajak mereka kembali?Oh itu lain. Kalau dagang internasional itu persoalannya kita mesti bikin orang percaya, kita harus bikin orang merasa aman. Sebagai pemerintah berikanlah contoh yang baik. Itu yang penting. Semua manusia dan warga negara menginginkan rumah tangga yang baik. Sopan dan ajak anak-anak menjadi anak yang baik. Tidak ada yang ingin rumah kita dirusak sendiri. Dulu Gus Dur tanya kepada saya, "Tong Djoe, kenapa orang Tionghoa lari?" Saya bilang pasti lari dong. Kalau orang tidak punya senjata untuk mempertahankan diri sendiri, lalu dipukul, apakah Anda tidak akan lari? Tetapi saya katakan mereka harus pulang. Ini kan rumah mereka, masak enggak pulang? Tetapi kita mesti bikin ketenangan. Nanti orang pulang sendiri.
Dari dua kandidat Presiden, siapa yang menurut Anda paling mampu mewujudkan ketenangan yang Anda katakan?Ya dua-dua saya kira tujuannya sama. Cuma caranya berlainan, hidup berlainan. Mungkin kalau saya jalan di sini lebih cepat, yang situ lihat bisa lebih cepat.
Anda berbisnis di sektor maritim. Bagaimana sebaiknya memajukan sektor ini?Kita dulu tidak punya apa-apa toh bisa. Dulu pemerintah kan belum tahu. Semua armada pelayaran orang asing punya, tetapi kenapa bisa jadi kita? Pengangkutan juga mahal waktu itu. Pengangkutan lebih mahal dan minyak. Hanya, pemerintah minta orang asing ini menentukan pengangkutan berapa minyak berapa. Maka di maritim kita mulai bertanggung jawab dan mulai bangun PELNI. Waktu itu kita masih kurang pengalaman. Seperti ketika Ibnu Sutowo membangun industri minyak. Tetapi Anda lihat, sekarang orang-orang hidup di situ. Sayangnya orang-orang masing-masing ribut sendiri. Kita mau bilang apa?
Sebaiknya negara Maritim mana yang bisa kita contoh?Bukan kita contoh. Kita punya hasil bumi. Kalau kita tidak punya pengangkutan kita kan tergantung orang. Kita dulu tidak punya apa-apa bisa bikin sampai hari ini punya apa-apa. Minyak, misalnya, dibangun Pak Ibnu dengan teman-temannya. Tapi waktu itu sepaham dan sehati.
Sekarang tampaknya sebaliknya, saling berebut. Misalnya, kini ada kontroversi tentang siapa yang harus menguasai pelabuhan…Jangan lah. Jadi jangan, tiba-tiba bagi ini, bagi ini. Nanti lama-lama kita dipotong (seperti) kue. Kita harus hati-hati. Otonomi daerah itu baik, tetapi harus satu kebijakan. Kasih satu hak supaya bisa berkembang. Tapi kita mesti punya master print yang jelas. Apa sudah perlu dibangun atau belum waktunya dibangun? Kita harus hitung kebutuhan internasional apa. Itu orang selalu bisa bilang kaya. Orang kaya itu tidak selalu uang. Ini hari bisa punya uang, besok tidak punya uang. Kaya yang sebenarnya adalah yang tak bisa dirampas orang. Itu baru kaya. Tidak bisa dirampas orang itu apa? Seperti adik-adik punya kepandaian. Punya sahabat, hubungan, itu yang tak bisa dirampas orang. Kalau yang kaya itu uang itu tidak bisa terus. Uang itu hanya kertas.
Anda kelihatannya menyimpan kekecewaan. Ada cita-cita Anda yang belum tercapai?Kalau Indonesia belum maju saya sedih.
Maksud kami, ada cita-cita pribadi yang belum terwujud?Apa sih. Tidak ada yang susah.
Sudah tercapai semua?Bukan tercapai semua. Kita sudah berusaha dan tidak macam-macam. Kalau kerja jangan takut susah. Kalau you takut susah, you jadi susah. Siapa pun bisa habis. Yang penting bisa kerja.
Masih berhubungan dengan teman-teman pengusaha?Masih. Tidak ada pengusaha yang tidak dekat dengan saya. Kita saling berkawan, saling bisa berusaha untuk baik. Kita jangan berkelahi, kita berkawan saja.
Siapa pengusaha yang paling dekat dengan Anda, Om Liem?Om Liem itu dia banyak bantu orang. Tapi saya selalu ingatkan sejak dulu tahun 80-an, jangan terpaksa. Banyak orang ingin jadi dia. Jadi kita kasih kesempatan orang yang ingin dibantu, yang ingin maju. Dulu pernah ada orang yang paling kaya Oei Tiong Ham. Di zaman Bung Karno semua hartanya disita. Itu karena politik. Nama dari politik itu apa? Kuasa. Kuasa untuk apa? Membuat undang-undang. Kalau ada kuasa membuat undang-undang itu berarti ada kuasa mengubah yang benar.***
© Eben Ezer Siadari dan WartaBisnis No 30, September 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar