Selasa, 19 Maret 2013

Tong Djoe Senang Temannya Jadi Presiden Cina..

 Created on Sunday, 17 March 2013 10:09 Published Date





Jakarta, GATRA News - Tong Djoe, pebisnis Indonesia sejak masa pemerintahan orde lama, menyatakan gembira saat Xi Jinping terpilih menjadi presiden baru Cina. Xi dilantik menjadi presiden negara dengan kekuatan ekonomi nomor dua di dunia itu pada Jum`at (15/3).
 
Tong Djoe (Dok. DPP Partai Demokrat)"Saya ucapkan selamat kepada Xi Jinping yang terpilih menjadi presiden Cina menggantikan Hu Jintao melalui kongres," kata pemilik perusahaan perkapalan Grup Tunas itu dari Singapura.

Antara melaporkan, Tong Djoe berteman baik dengan Xi, sejak Xi menjadi wakil wali kota Xiamen, Cina, pada 1987. Tong memiliki bisnis kuat di perkapalan dengan basis di Singapura.

Tong sudah lama berbisnis multi-bidang di Indonesia, terkhusus dengan pebisnis Cina. Saking dekat dengan pebisnis Cina, dia berperan menjembatani pembukaan kembali hubungan diplomatik Indonesia dengan Cina pada dasawarsa '90-an.

Indonesia dan Cina putus hubungan menyusul G30S/PKI, pada awal pemerintahan Soeharto.

"Semoga hubungan diplomatik Indonesia dan Cina semakin baik sehingga memberikan dampak positif bagi stabilitas keamanan, politik dan pertumbuhan ekonomi kedua pihak," katanya. (DH)



Jumat, 09 November 2012

Tong Djoe: SBY Memberikan yang Terbaik bagi Indonesia



Tong Djoe (Foto: Bobby triadi)
Jakarta: Tong Djoe, Anggota Dewan Kehormatan DPP Barisan Massa Demokrat menyatakan, Presiden RI yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat (PD) DR Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah memberikan yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Tong Djoe meminta masyarakat bisa menghargai dan mendukung pemimpinnya yang telah dipilih melalui Pemilu yang sah.
“Pak SBY sudah dipilih oleh rakyat untuk memimpin negeri ini. Sejauh ini dia juga sudah memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negaranya. Penghargaan terhadap kemampuan beliau kan datang dari luar negeri, terutama karena pertumbuhan ekonomi RI yang pesat. Menjadi tugas kita semua, terutama para menterinya, untuk mendukung kepemimpinan beliau,’ kata Tong Djoe dalam diskusi dengan kalanga pers di kantor pusat DPP-BMD, di Jalan Gunung Sahari Nomor 82 Jakarta Pusat, Rabu, 29 Juni 011.
Tong Djoe juga menyatakan, setiap pemimpin bangsa, termasuk  SBY, harus dihargai karena dia membawa amanah rakyat. Apalagi SBY telah dua kali dipilih rakyat.
“Saya tidak melihat kekurangan SBY dalam kepemimpinannya, kalaupun ada itu karena ia terlalu baik,” kata Tong Djoe, pengusaha kelahiran Sumatera yang telah lama menetap di Singapura.
Pemilik perusahaan Tunas Group Pte. Ltd. dan banyak berperan dalam membuka kembali hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok itu menyatakan, Presiden SBY mempunyai program pembangunan yang hebat karena berusaha mengembangkan potensi SDA dan SDM di seluruh tanah air.
“Banyak dari bangsa kita ini bodoh karena terlalu lama dijajah Belanda. Kultur pendidikan belum berjalan dengan baik. Akibatnya banyak yang tidak bisa menghargai pemimpinnya. Presiden SBY telah mengelilingi seluruh Indonesia hingga tahu potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di seluruh Nusantara. Setahu saya belum ada presiden seperti beliau,” kata Tong Djoe yang mengenal dekat seluruh Presiden RI sejak era Bung Karno hingga SBY.
Tong Djoe mengatakan, persoalan kepemimpinan bukan persoalan kecil karena ‘pemimpin selalu bekerja di tempat terang hingga menjadi sorotan, sementara rakyat bekerja di tempat gelap hingga sulit dipahami.
“Pemimpin yang baik bisa mengetahui apa yang dikerjakan rakyatnya, SBY memiliki pemahaman itu,” kata Tong Djoe, pengusaha kapal ini yang banyak berperan dalam menciptakan jalinan usaha dagang antara para pengusaha Indonesia dan Tiongkok.
Tong Djoe, penggemar barang-barang antik yang selalu menganggap uang hanya sekadar alat tukar menyatakan, jika ia selalu berpikir tentang  kemajuan bangsa Indonesia disebabkan karena  baik dan buruknya negara ini langsung berdampak kepadanya.

“Jika bangsa kita jelek di mata dunia luar maka kita juga akan jelek, demikian juga sebaliknya,” kata Tong Djoe yang pernah menolak kewarganegaraan Singapura. (didik)

Tong Djoe menghadiri undangan Kementerian Ristek dalam memperingati 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Republik Rakyat China


JAKARTA, 16/10 - ASTRONOT RRC. Pengusaha Nasional Indonesia Tong Djoe (tengah) berfoto bersama dengan dua Astronot Republik Rakyat China ( RRC), ketika jamuan makan malam di Jakarta, Jumat malam (15/10). Kedua Astronot tersebut Zhai Zhi Gang (kanan) dan Nie Hai Sheng (kiri) berada di Indonesia atas undangan Kementerian Ristek dalam rangka memperingati 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Republik Rakyat China. Foto ANTARA/Ali Anwar/ss/Hp/10.

Wawancara dengan Tong Djoe

 

 

 

 

 

Tong Djoe

"Kalau You Takut Susah,
You jadi Susah"


Tong Djoe, ‘pengusaha di segala rezim,’ pelobi ulung dan pialang revolusi, bicara tentang presiden-presiden yang pernah dia bantu. Juga rahasia bagaimana ia tetap survive walau zaman berubah.

Kini usianya sudah 79. Ramping, lincah dan segar, ia masih bisa berjalan dan bergegas dengan cepat, misalnya, untuk mengejar suatu acara. Pada beraneka perhelatan, tiap orang yang menyapa dia selalu dia balas dan layani dengan ramah. Tetapi ia selalu punya kata-kata yang elok untuk segera dapat berpamitan, sehingga ia bisa melenggang kembali menemui kenalan-kenalannya yang lain.
Itulah Tong Djoe, pengusaha ‘segala rezim,’ yang bisnisnya dan peranan dirinya tampaknya tak lekang dimakan waktu. Ia sudah berbisnis sejak zaman Bung Karno. Ia dikenal sebagai pelobi ulung di kalangan pemerintahan dalam dan luar negeri. Dari dulu hingga sekarang. Ia mempertemukan sejumlah presiden Indonesia dengan kepala negara lain. Ia menjembatani penguasa dan pengusaha. Foto-foto dirinya di kantornya, menunjukkan bagaimana ia kerap menjadi orang di belakang layar dalam tiap pertemuan penting sejumlah kepala negara.
Di usia 17, Tong Djoe sudah bekerja di kapal. Di masa revolusi ia membantu perjuangan kemerdekaan dengan menyuplai bahan sandang, pangan, bangunan dan senjata. Ia adalah satu dari pengusaha yang dekat dengan Soekarno, sebagian karena jasa-jasanya membantu revolusi. Seorang ahli sejarah, Mestika Zed, bahkan menjulukinya sebagai ‘pialang revolusi’ karena jasanya menjembatani kelebihan pasok pangan di Sumatera untuk dialihkan ke Jawa yang justru kekurangan.
Di zaman Soeharto, bisnis Tong Djoe tetap berkibar, walau ia mengaku tidak akrab dengan ‘jenderal tersenyum’ itu. Tong Djoe justru dekat dengan salah satu orang dekat Pak Harto, Ibnu Sutowo, pendiri dan direktur utama pertama Pertamina. Menekuni bisnis perkapalan, Tong Djoe membangun Grup Tunas, grup bisnis yang namanya adalah pemberian dari Ibnu Sutowo. Tunas adalah perusahaan pertama Tong Djoe di Singapura yang cukup disegani. Gedung Tunas di Anson Road, Singapura, pada 1973 (ketika selesai), bertingkat 31, merupakan gedung tertinggi di Singapura waktu itu.
Di zaman Abdurrahman Wahid menjadi presiden, nama Tong Djoe berkibar penuh, terutama karena sang presiden banyak memintai nasihat dari dirinya. Tong Djoe, misalnya, pernah dimintai pendapat oleh Gus Dur tentang bagaimana mengajak kembali pengusaha Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Atas jasa Tong Djoe pula Menteri Senior Lee Kuan Yew bersedia diangkat jadi penasihat presiden Indonesia. "Sayangnya, dia diangkat sebagai penasihat tetapi nasihatnya tidak pernah diminta. Seharusnya undang dong dia ke sini," kata Tong Djoe, mengenang.
Kamis, 19 Agustus 2004, lewat percakapan telepon yang singkat, WartaBisnis tak menemukan kesulitan membuat janji wawancara dengan dirinya. "Datang saja besok, jam lima," kata dia sembari memberitahu alamat kantornya di jalan Gunung Sahari Jakarta. Wawancara itu hampir saja batal, karena ketika ditemui di tempat yang ia janjikan keesokan harinya, Tong Djoe sudah bersiap hendak berangkat ke sebuah pameran lukisan. "Maaf. Saya harus menghadiri pameran itu," kata dia. Tetapi ia tidak kehabisan akal. "Bagaimana kalau kita berbincang sambil berangkat ke pameran itu?," usul dia. Sebuah tawaran yang harus diterima, karena Tong Djoe tak punya banyak waktu lagi. Setiap Jum’at, dia kembali ke Singapura untuk ‘kembali’ lagi ke Jakarta pada hari Seninnya.
Maka wartawan WartaBisnis Eben Ezer Siadari dan Agung Marhaenis mewawancarai Tong Djoe di perjalanan yang macet menuju hotel Sahid Jakarta. Tak mudah mengikuti alur bicaranya yang sering melompat-lompat serta Bahasa Indonesia-nya yang kelihatannya banyak dipengaruhi dialek Singapura dan Malaysia. Di pameran itu, ternyata perhatiannya tak bisa ia pusatkan pada lukisan-lukisan. Ia mengajak WartaBisnis duduk di pojok sebuah kafe, memesan minuman dan siap ditanyai lebih banyak. "Masih banyak waktu untuk lukisan-lukisan itu. Sekarang, saya ingin berbicara dengan Anda, sahabat-sahabat saya yang baik," kata dia, sambil memesan jus jeruk dingin. Satu jam kemudian WartaBisnis baru diizinkan pamit.
Berikut ini petikan wawancara tersebut.
Anda dikenal sebagai pengusaha yang mampu bertahan sejak Indonesia merdeka hingga sekarang. Rezim berganti tetapi Anda tetap bisa dekat dengan penguasa. Kenapa Anda bisa?
Tong Djoe
: Caranya kita bangun bersama, kita bikin bersama. Saling menghormati orang, bikin orang untung. Kalau ada sesuatu kekurangan dia, kita ingatkan. Dia dengar baik, kalau tidak dengar kita sudah sampaikan.
Anda masih sering bertemu dengan keluarga Bung Karno?Kalau dulu masih. Ya, sekarang tetap lah.
Diantara keluarga itu siapa yang paling dekat?Ya Guntur lah. Guntur baik.
Kenapa bukan Ibu Mega?Dulu kan Fatmawati titip dia kepada saya. Jadi ya bagaimana pun saya sangat menghormati dia. Dia masih anggap saya Om. Maka itu kita tidak ada siapa yang salah yang benar. Orang itu sering salah mengerti tentang kedekatan saya dengan para penguasa. Seperti dulu, Fatmawati bilang, "Tong Djoe ini anak-anak dititip ke Tong Djoe." Lalu itu disalah mengerti. Dulu ada pembantu Pak Harto bertanya kepada saya kenapa Tong Djoe melindungi keluarga Bung Karno? Padahal itu kan karena dititipkan kepada saya. Tetapi di situ saya menghormati Pak Harto. Dia merangkul. Kita jangan salah-menyalahkan. Kita sering cepat emosi, cepat iri hati, cepat tersinggung. Jadi kadang-kadang kalau butuh, kita gampang janji, tapi kita suka cepat lupa. Ini saya cerita pengalaman. Ini saya tidak ada bersangkutan sama siapa. Mari kita bersama membangun rumah kita supaya besok Indonesia lebih baik. Termasuk saudara. Jangan mengadu satu dan lain. Nanti menyesal dan kecewa. Itu yang harus diperhatikan.
Anda sempat juga dekat dengan Pak Harto?Dulu dengan Pak Harto kurang dekat. Ibu Tien pernah bilang kenapa tidak datang ke rumah kita? Saya bilang Bapak dan Ibu masih sibuk, saya tidak ingin bikin Bapak dan Ibu semakin sibuk.
Jadi kurang dekat?Ya kita hormat dengan dia. Dia orang kerja dengan baik. Dia kerja benar. Cuma rakyat belum mengerti.
Maksudnya?Misalnya maju untuk pembangunan. Namun ada satu kekurangannya, pembangunan dilakukan bertumpuk di pusat. Maka saya bilang waktunya Bapak membangun daerah. Untuk apa? Untuk membuat antardaerah itu makin lama makin dekat. Misalnya kamu punya, saya tidak punya. Saya akan iri.
Anda juga dikenal dekat dengan Gus Dur. Bisa cerita?Dia punya bapak kan dekat dengan saya. Dulu bapaknya menteri agama.
Ketika itu Anda sebagai apa?Saya dulu sebagai orang bebas. You tanya orang lain lah Tong Djoe siapa.
Apa yang paling berkesan dari Gus Dur?
Dia mau kerja baik. Tapi dia sendiri. Sebab mata dia kurang lihat. Akhirnya dia sendirian. Dia ingin supaya bangsa ini maju. Habibie juga ingin bangsa Indonesia baik, ia membangun demokrasi.
Kalau dari Megawati apa yang istimewa?Dia sudah mengalami. Dia kan satu-satunya yang lahir di Yogya. Sampai pindah kekuasaan. Dia mengalami ujian yang sedemikian. Begitu. Dia mengalami segala masalah, tapi ada bukti akhir-akhir ini menjadi tenang. Soal maju kan itu tergantung kita bersama-sama.
Dari SBY?Dia tahu Indonesia adalah negara besar. Dia dari Angkatan Bersenjata. Cuma kita harus bilang dia berbuat apa untuk Indonesia, untuk rakyat.
Dari dua kandidat presiden ini, apa yang Anda harapkan?Yang penting untuk rakyat itu adalah punya pekerjaan. Lalu menyediakan suatu ketenangan. Setelah itu, agar orang percaya pada pemerintah, maka pemerintah harus memperhatikan dan memelihara rakyat, antara lain dengan membuat biaya pendidikan murah. Kita harus mengetahui bahwa Indonesia itu lama dijajah. Sekarang kita mau betul-betul kita dikasih kesempatan untuk pendidikan. Kesempatan untuk berusaha. Dulu kita kan masih bayi, sekarang kita kan sudah jadi ‘tuan rumah’. Kita tentu tahu apa kekurangan dan kelebihan kita, supaya kita isi-mengisi. Tidak ada apa yang dikatakan itu musuh. Itu enggak ada. Kita mesti saling percaya, saling menghormati, saling mengisi.
Sebagai seorang sesepuh masyarakat Tionghoa, Anda punya keinginan khusus tentang bagaimana kebijakan pemerintah terhadap masyarakat minoritas, seperti Anda?Itu bukan soal Tionghoa-nya. Yang perlu diperhatikan adalah di Indonesia itu tidak ada pemisah-misahan satu dengan lainnya. Jangan kita dipisahkan. Setiap warga negara berhak dan berkewajiban supaya rumah ini tenang dan berwibawa.
Tetapi dikabarkan masih banyak teman-teman Anda yang belum pulang ke Indonesia. Bagaimana cara mengajak mereka kembali?Oh itu lain. Kalau dagang internasional itu persoalannya kita mesti bikin orang percaya, kita harus bikin orang merasa aman. Sebagai pemerintah berikanlah contoh yang baik. Itu yang penting. Semua manusia dan warga negara menginginkan rumah tangga yang baik. Sopan dan ajak anak-anak menjadi anak yang baik. Tidak ada yang ingin rumah kita dirusak sendiri. Dulu Gus Dur tanya kepada saya, "Tong Djoe, kenapa orang Tionghoa lari?" Saya bilang pasti lari dong. Kalau orang tidak punya senjata untuk mempertahankan diri sendiri, lalu dipukul, apakah Anda tidak akan lari? Tetapi saya katakan mereka harus pulang. Ini kan rumah mereka, masak enggak pulang? Tetapi kita mesti bikin ketenangan. Nanti orang pulang sendiri.
Dari dua kandidat Presiden, siapa yang menurut Anda paling mampu mewujudkan ketenangan yang Anda katakan?Ya dua-dua saya kira tujuannya sama. Cuma caranya berlainan, hidup berlainan. Mungkin kalau saya jalan di sini lebih cepat, yang situ lihat bisa lebih cepat.
Anda berbisnis di sektor maritim. Bagaimana sebaiknya memajukan sektor ini?Kita dulu tidak punya apa-apa toh bisa. Dulu pemerintah kan belum tahu. Semua armada pelayaran orang asing punya, tetapi kenapa bisa jadi kita? Pengangkutan juga mahal waktu itu. Pengangkutan lebih mahal dan minyak. Hanya, pemerintah minta orang asing ini menentukan pengangkutan berapa minyak berapa. Maka di maritim kita mulai bertanggung jawab dan mulai bangun PELNI. Waktu itu kita masih kurang pengalaman. Seperti ketika Ibnu Sutowo membangun industri minyak. Tetapi Anda lihat, sekarang orang-orang hidup di situ. Sayangnya orang-orang masing-masing ribut sendiri. Kita mau bilang apa?
Sebaiknya negara Maritim mana yang bisa kita contoh?Bukan kita contoh. Kita punya hasil bumi. Kalau kita tidak punya pengangkutan kita kan tergantung orang. Kita dulu tidak punya apa-apa bisa bikin sampai hari ini punya apa-apa. Minyak, misalnya, dibangun Pak Ibnu dengan teman-temannya. Tapi waktu itu sepaham dan sehati.
Sekarang tampaknya sebaliknya, saling berebut. Misalnya, kini ada kontroversi tentang siapa yang harus menguasai pelabuhan…Jangan lah. Jadi jangan, tiba-tiba bagi ini, bagi ini. Nanti lama-lama kita dipotong (seperti) kue. Kita harus hati-hati. Otonomi daerah itu baik, tetapi harus satu kebijakan. Kasih satu hak supaya bisa berkembang. Tapi kita mesti punya master print yang jelas. Apa sudah perlu dibangun atau belum waktunya dibangun? Kita harus hitung kebutuhan internasional apa. Itu orang selalu bisa bilang kaya. Orang kaya itu tidak selalu uang. Ini hari bisa punya uang, besok tidak punya uang. Kaya yang sebenarnya adalah yang tak bisa dirampas orang. Itu baru kaya. Tidak bisa dirampas orang itu apa? Seperti adik-adik punya kepandaian. Punya sahabat, hubungan, itu yang tak bisa dirampas orang. Kalau yang kaya itu uang itu tidak bisa terus. Uang itu hanya kertas.
Anda kelihatannya menyimpan kekecewaan. Ada cita-cita Anda yang belum tercapai?Kalau Indonesia belum maju saya sedih.
Maksud kami, ada cita-cita pribadi yang belum terwujud?Apa sih. Tidak ada yang susah.
Sudah tercapai semua?Bukan tercapai semua. Kita sudah berusaha dan tidak macam-macam. Kalau kerja jangan takut susah. Kalau you takut susah, you jadi susah. Siapa pun bisa habis. Yang penting bisa kerja.
Masih berhubungan dengan teman-teman pengusaha?Masih. Tidak ada pengusaha yang tidak dekat dengan saya. Kita saling berkawan, saling bisa berusaha untuk baik. Kita jangan berkelahi, kita berkawan saja.
Siapa pengusaha yang paling dekat dengan Anda, Om Liem?Om Liem itu dia banyak bantu orang. Tapi saya selalu ingatkan sejak dulu tahun 80-an, jangan terpaksa. Banyak orang ingin jadi dia. Jadi kita kasih kesempatan orang yang ingin dibantu, yang ingin maju. Dulu pernah ada orang yang paling kaya Oei Tiong Ham. Di zaman Bung Karno semua hartanya disita. Itu karena politik. Nama dari politik itu apa? Kuasa. Kuasa untuk apa? Membuat undang-undang. Kalau ada kuasa membuat undang-undang itu berarti ada kuasa mengubah yang benar.***


© Eben Ezer Siadari dan WartaBisnis No 30, September 2004

Anindya Bakrie bicara tentang Tong Djoe



IMG00319-20110322-1312


Sebaik-baik manusia, kata ajaran agama, adalah yang panjang umurnya dan banyak amal baiknya. Ajaran itu seperti terngiang kembali ketika saya bertemu dengan pengusaha nasional Tong Djoe di Batam hari Selasa, 22 Maret 2011, kemarin.
Saya berada di Batam menghadiri pelantikan pengurus Kadinda Kepulauan Riau, sekaligus diminta menjadi  moderator  dalam diskusi tentang “Refreshment Free Trade Zone Batam, Bintan dan Karimun”. Pembicara diskusi tersebut antara lain Menperin MS Hidayat, Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto dan Gubernur Kepri Muhammad Sani.
Seusai acara, seorang teman memperkenalkan saya dengan Bapak Tong Djoe. Nama beliau sudah  lama saya kenal. Beberapa cerita tentang semangat nasionalismenya juga saya baca di berbagai media. Tapi saya tidak menyangka ketika bertemu langsung, ternyata figurnya sangat bersahaja.
Dalam usia yang sudah lanjut, menginjak usia 85 tahun, beliau  masih sangat segar, dengan posisi berdiri yang masih tegak. Rupanya sepanjang acara berlangsung beliau duduk di deretan tamu undangan, mengamati jalannya acara dengan tekun.
“Saya senang bertemu dengan anak muda seperti anda. Indonesia saat ini sudah baik. Tinggal bagaimana susun baik-baik,” katanya dengan rendah hati. Kata harus “disusun baik-baik” itu beliau ulang berkali-kali, bahkan ketika  saya harus pamit mengakhiri pembicaraan.
Pak Tong Djoe bercerita bahwa beliau berteman dengan kakek saya almarhum Haji Achmad Bakrie. Beliau masih menyimpan foto kenangan bersama Achmad Bakrie, Hasjim Ning dan satu orang pengusaha  yang beliau lupa. Pak Tong Djoe berjanji akan mengirimi saya foto tersebut.
Tong Djoe adalah salah satu profil pengusaha pejuang yang mendedikasikan usahanya untuk kemajuan Indonesia. Melalui perusahaan pelayaran berbendara PT Tunas Pte Limited, Tong Djoe banyak membantu perjuangan bangsa. Di gedung Tunas, yang pada tahun 70-an merupakan gedung tertinggi di Singapura, banyak dimanfaatkan oleh perusahaan negara untuk bertemu dengan para pengusaha asing yang ingin menanamkan investasinya di Indonesia.
Beliau juga sangat berjasa membantu menormalisasi hubungan Indonesia dengan Singapura dan Cina. Bahkan gedung Tunas kebanggannya dijual untuk membiayai proses normalisasi hubungan Indonesia-Cina.  Karena jasa-jasanya, pemerintah melalui Presiden Habibie pada tahun 1998 memberi penghargaan berupa Bintang Jasa Pratama.
Pak Tong Djoe mengajarkan kepada saya dan kita semua, bahwa dalam bidang pengabdian apapun, yang utama adalah menjadi pribadi yang kontributif. Pada akhirnya yang akan dikenang seseorang dari diri kita adalah: amal nyatanya, amal baiknya. ..

Sumber : http://aninbakrie.com/?p=1238

Tong Djoe: Dari Gedung Tunas Inilah Saya Membantu Indonesia



Dari gedung Tunas miliknya, taipan asal Indonesia yang bermukim di Singapura, Tong Djoe, mengaku banyak membantu Indonesia, China, dan bahkan Singapura. Lalu apa sebenarnya gedung Tunas yang dia maksud?Gedung perkantoran Tunas diresmikan oleh Dirut Pertamina Ibnu Sutowo pada tahun 1973. Lokasinya di kawasan Tanjong Pagar, dekat pelabuhan Singapura.
Gedung Tunas merupakan gedung tertinggi dan termewah saat itu karena kawasan itu masih merupakan kampung. "Istri Lee Kuan Yew (mantan PM Singapura) ketika datang bertanya kenapa saat itu saya membangun gedung tinggi di kawasan pelabuhan Singapura yang saat itu masih kampung. Kenapa tidak membangun di pusat kota. Saya jawab suatu saat kawasan ini menjadi kawasan terpenting dan mahal. Sekarang terbukti gedung perkantoran ini yang paling kecil dibandingkan yang lainnya," kata Tong Djoe.
Dari gedung inilah ia ikut membantu bisnis Pertamina, Pelni, dan BUMN Indonesia lainnya. Gedung Tunas menjadi tempat pertemuan para pengusaha Indonesia dan BUMN dengan mitra bisnis internasionalnya. Gedung ini juga menjadi saksi dia membantu finansial para perwira tinggi TNI dan pemimpin politik Indonesia.
"Dari gedung ini juga, saya ikut merapatkan hubungan bilateral dan bisnis antara Indonesia-Singapura. Ketika tentara Indonesia sudah siap menyerang Singapura awal tahun 1970-an, saya juga yang bantu menyelesaikannya. Setelah baik, saya membawa para pengusaha Singapura ke Indonesia," katanya.
"Saya menjual gedung ini untuk mendanai normalisasi hubungan Indonesia-RRC atas permintaan Presiden (waktu itu) Suharto langsung. Juga normalisasi hubungan bilateral Singapura-RRC," tambah dia.
"Suatu hari Jaksa Agung Singapura datang ke saya sebelum berkunjung ke Xianmen, China. Dia minta bantuan saya. Saya bilang lho kok datang ke saya bukan ke perwakilan China. Saat itu, Singapura belum ada hubungan diplomatik dengan RRC. Mereka bilang datang ke saya karena percaya bisa membantu. Akhirnya, saya bantu dan mereka bisa masuk Xianmen dan kini hubungan Singapura-RRC sangat baik," katanya.
Selain itu, Tong Djoe merupakan pengusaha Indonesia yang membangun pertama kali pergudangan modern di pelabuhan Singapura.
Atas perjuangan Tong Djoe dan segala upayanya dalam membantu Indonesia, sejak perang kemerdekaan hingga masa pembangunan ekonomi, Presiden Habibie atas nama Republik Indonesia memberikan penghargaan bintang jasa pratama kepada taipan ini, 25 Agustus 1998, diserahkan langsung oleh Menlu Ali Alatas di Gedung Deplu Pejambon, Jakarta.
Oleh sebab itu, ia menilai pencemaran nama baiknya atas kasus tersebut ikut mencemarkan nama Indonesia, China, dan Singapura.

Sumber : http://www.kompas.com

Tong Djoe, Mediator Anak Bangsa yang Terlupakan

Di jaman yang modern saat ini, mungkin tak banyak orang mengenal pria kelahiran Medan dan besar di Palembang ini. Usianya kini sudah 85 tahun.
Meski sudah lebih dari 40 tahun menetap di Singapura, hingga sekarang pengusaha ini masih memilih untuk tetap berwarga negara Indonesia. Berdasarkan catatan sejarah, lelaki satu ini cukup berjasa besar dalam mengawali jalinan kerja sama bisnis antara Indonesia dan Cina.
Hal tersebut dapat dilihat dari prestasi-prestasinya dimasa lalu, dimana pemilik perusahaan Tunas (pte) Ltd tersebut juga ikut memediasi hubungan diplomatik antara Singapura dan Cina.
Ya, dia adalah Tong Djoe, yang juga tidak bisa dipisahkan saat awal mula berdirinya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang minyak dan gas, Pertamina, yang saat itu masih bernama Permina.
Saat itu, Tong Djoe adalah agen tunggal yang mampu menyediakan segala kebutuhan infrastruktur Pertamina, seperti kapal angkut, kontainer dan lain sebagainya. Selain berjasa terhadap cikal bakal berdirinya Pertamina, Tong Djoe juga tercatat sebagai tokoh kunci atas dibukanya kembali jalinan kerja sama bisnis antara Indonesia dan Cina pada 1991 silam.
Hal tersebut merupakan keberhasilan gemilang, mengingat buruknya jalinan diplomasi kedua negara pasca diberlakukannya pembekuan kerja sama pada 1967 silam. Meski mulai dibuka kembali pada 1991, Tong Djoe mulai merintis “perdamaian” di bidang
bisnis tersebut sejak kisaran tahun 1985. Tak hanya dengan China, Tong Djoe juga tampil sebagai pendamai antara Indonesia dan Singapura saat terjadi konfrontasi pada 1970-an.
Sayang, kini dia harus berurusan hukum dengan negara yang telah dia bantu tersebut. Kini, Tong Djoe tinggal di Singapura, menempati tiga lantai teratas gedung yang bernama Hub Energy Building. Dulu, gedung tersebut bernama Tunas Building, didirikan oleh Tong Djoe pada 1973.
Kedekatan sosok Tong Djoe dengan Pertamina terbukti dengan hadirnya Direktur Pertamina saat itu, Ibnu Sutowo, dalam peresmian Tunas Building. Namun, demi strategi bisnis, pada 1981 dirinya menjual sebagian besar Tunas Building pada pihak lain, dan hanya menyisakan tiga lantai teratas untuk tempat dia tinggal.
Sialnya, saat 2007 Tong Djoe harus berurusan dengan pengelola gedung tersebut lantaran pihak pengelola gedung melakukan perubahan dan pemasangan Mechanical Electric (ME) di atas lantai milik Tong Djoe tanpa persetujuan sang pengusaha. Tong Djoe pun melawan. Sayang hingga saat ini kasus tersebut belum juga tuntas.
Sebagai orang yang pernah berjasa terhadap Singapura dan Indonesia, bantuan hukum sama sekali belum terlihat diterima oleh Tong Djoe untuk menyelesaikan kasus hukumnya tersebut. “Sebagai warga negara yang baik, saya hanya bisa menunggu,” tutur Tong Djoe pasrah. (*)

sumber : infobanknews.com